Jumat, 17 Maret 2017

MENDIAGNOSIS DAN MEREMIDI KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA



MENDIAGNOSIS DAN MEREMIDI KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA
                                                                                                                  
SAEPUL WATAN_16709251057_PM C
Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak
Belajar dengan hasil yang maksimal merupakan suatu keharusan bagi siswa. Akan tetapi, tidak semua siswa mendapatkan jalan yang mulus dalam mencapai hasil belajar yang maksimal. Banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam belajar, terutama di dalam belajar matematika. Sehingga guru diharapkan dapat mendiagnosis dan meremidi kesulitan belajar siswa. Makalah ini akan membahas tentang bagimana mendiagnosis dan meremidi kesulitan siswa dalam belajar matematika. Melalui kegiatan diagnosis, gejala-gejala yang menunjukkan adanya kesulitan dalam belajar dapat diidentifikasi, dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya, dan diupayakan jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut. Melalui pengajaran remedial, siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat diperbaiki atau disembuhkan sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan kemampuan.

A.    Pendahuluan
Dalam upaya menemukan dan mengatasi kesulitan belajar matematika siswa, pada hakekatnya pekerjaan guru sama dengan pekerjaan seorang dokter. Sebelum dokter mengobati pasien, tentunya ia akan berusaha mencari penyebab sakit yang diderita pasien melalui pemeriksaan secara intensif. Setelah penyebab sakitnya diketahui, dokter akan memberikan obat yang tepat untuk penyembuhan pasien. Upaya dokter mencari penyebab sakit yang diderita pasien melalui pemeriksaan secara intensif inilah yang dimaksud dengan diagnosis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) diagnosis mempunyai arti (1) penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti (memeriksa) gejala-gejalanya. (2) pemeriksaan terhadap suatu hal. Demikian pula halnya pekerjaan guru. Sebelum memberikan pembelajaran perbaikan (pembelajaran remidi), guru perlu terlebih dahulu mencari penyebab kesulitan belajar siswanya atau mendiagnosis kesulitan siswa dalam belajar.
Kegiatan mendiagnosis dan meremedial kesulitan belajar merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru bersama dengan siswa serta unsur lain jika memungkinkan. Pemberian bantuan terhadap siswa yang berkesulitan belajar didasarkan pada hasil diagnosis yang dilakukan dengan cermat.
Menurut Thorndike dan Hagen yang dikutip oleh Sugiharto (2003) diagnosis dapat diartikan sebagai berikut: (1) Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala gejalanya, (2) Studi yang seksama terhadap fakta sesuatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial, (3) Keputusan yang dicapai setelah dilakukan studi yang seksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka diagnosis dalam pendidikan diperlukan untuk mengetahui kesulitan siswa. Hasil diagnosis juga bermanfaat sebagai dasar menetukan program pembelajaran yang selanjutnya. Jika masalah kesulitan belajar telah teridentifikasi dengan baik maka program pembelajaran dan perbaikan pengayaan dapat dilakukan lebih efektif.

B.     Mendiagnosis Kesulitan Belajar Matematika
Pada proses pembelajaran siswa terkadang sulit untuk berkonsentrasi, sehingga membuat siswa tidak dapat memahami pelajaran yang berlangsung. Namun ada juga siswa yang dapat menangkap apa yang dipelajari pada saat proses pembelajaran berlangsung. Kenyataan inilah yang sering kita jumpai pada siswa dalam kehidupan sehari–hari dimana kaitannya dengan aktivitas belajar. Setiap individu tidak ada yang sama, perbedaan individu inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku di dalam siswa. Dalam keadaan dimana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya hal itulah yang disebut dengan kesulitan belajar siswa.
Kesulitan    belajar matematika siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan–hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berbeda dibawah semestinya. Sejalan dengan hal tersebut Hakim (Ade Kumalasari & Rizky Oktora Prihadini Eka Putri, 2013: 2) berpendapat bahwa kesulitan belajar adalah kondisi yang menimbulkan hambatan dalam proses belajar seseorang. Hambatan ini menyebabkan orang tersebut mengalami kegagalan atau setidaknya kurang berhasil dalam mencapai tujuan belajar.
Dalam mempelajari matematika, siswa cenderung mengalami kesulitan yang menurut Cooney (Abdurrahman, 2003: 278) dikategorikan dalam tiga jenis yaitu : kesulitan dalam mempelajari konsep; kesulitan dalam menerapkan prinsip; kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal.
Cooney, Davis, & Henderon (1975: 203-208) memberi petunjuk, bahwa kesulitan siswa dalam belajar matematika agar difokuskan pada dua jenis pengetahuan matematika yang penting, yaitu pengetahuan konsep-konsep dan pengetahuan prinsip-prinsip. Dalyono (2010:229) menjelaskan bahwa kesulitan belajar merupakan suatu keadaan yang menyebabkan siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya.
Menurut Burton (Mulyadi, 2008: 8-9) seseorang diduga mengalami kesulitan belajar jika yang bersangkutan menunjukkan kegagalan tertentu dalam tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan tersebut diidentifikasi oleh Burton sebagai berikut:
1.      Seseorang dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau penguasaan minimal yang telah ditentukan.
2.      Seseorang dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya.
3.      Seseorang dikatakan gagal jika yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial.
4.      Seseorang dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan pada tingkat pembelajaran sebelumnya.
Cooney, Davis, & Henderson (1975:210) menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis yang dimaksud antara lain lemahnya penglihatan, kurang tajamnya pendengaran, sulit mengeja, kurang dalam memperhatikan sesuatu, masalah dengan pita suara, sesak nafas, keterbelakangan mental, dan sebagainya.
2.      Faktor social
Pendidik dan orang tua siswa sering kali kurang memperhatikan faktor sosial sebagai penyebab kesulitan siswa. Faktor-faktor sosial yang dimaksud antara lain: kurangnya motivasi dan penghargaan di lingkungan keluarga, budaya lingkungan yang kurang menguntungkan seperti begadang, kurangnya pendidikan informal keluarga seperti jarang berkunjung ke museum, kurangnya buku-buku referensi, dan sebagainya.
3.      Faktor emosional
Faktor-faktor emosional yang dapat menyebabkan siswa kesulitan dalam pembelajaran matematika antara lain: takut belajar matematika, putus hubungan dengan teman dekat, muncul perasaan gagal, tertekan dan sebagainya.
4.      Faktor intelektual
Faktor intelektual dan motivasi merupakan hal yang menjadi perhatian lebih pendidik saat siswa mengalami kesulitan matematika. Pendidik sering mendeskripsikan kesulitan yang dialami siswa sebagai keengganan untuk mencoba memecahkan masalah matematika. Siswa yang sulit untuk melakukan abstraksi, generalisasi, deduksi, serta mengingat kembali tentang suatu konsep dan prinsip biasanya mengalami kesulitan matematika.
5.      Faktor pedagogis
Faktor pedagogis yang menyebabkan siswa kesulitan memecahkan masalah matematika berkaitan erat dengan kesiapan siswa dalam belajar matematika. Kesiapan siswa dalam menggunakan konsep dan prinsip matematika sangat mempengaruhi proses pemecahan masalah. Kesiapan siswa dalam pembelajaran matematika yang dipengaruhi langsung oleh pendidik juga merupakan faktor pedagogis yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan memecahkan masalah matematika. Pendidik yang tidak siap menerapkan suatu konsep atau prinsip matematika, pendidik yang memilih materi terlalu sulit, pendidik yang kurang dapat memotivasi siswa dalam belajar, pendidik yang memberikan tes terlalu sulit merupakan sebagian faktor pedagogis yang menyebabkan siswa sulit dalam memecahkan masalah matematika.
Untuk mengetahui kesulitan matematika yang dialami oleh siswa perlu dilakukan analisis. Menurut Cooney, Davis & Henderson (1975: 202-209) langkah-langkah diagnostik kesulitan belajar, yaitu:
1.      Mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Tujuan identifikasi adalah untuk menemukan siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Siswa tersebut dapat ditemukan dengan cara meneliti hasil ujian semester atau tes.
  1. Menentukan jenis dan sifat kesulitan belajar.
Setelah ditemukan siswa yang mengalami kesulitan, selanjutnya adalah menentukan jenis dan sifat kesulitan belajar. Dalam pelajaran matematika, jenis kesulitan yang kemungkinan dialami oleh siswa adalah berkaitan dengan konsep, prinsip, dan algoritma untuk setiap pokok bahasan dalam matematika. Dalam tahap ini prosedur yang dapat digunakan diantaranya adalah memberikan tes diagnostik.
  1. Memperkirakan sebab-sebab kesulitan belajar.
Sebab-sebab kesulitan siswa mungkin berkaitan dengan harapan yang harus terpenuhi, metode pembelajaran, atau materi pelajaran. Apabila ketiga hal tersebut bukan merupakan penyebab kesulitan siswa, maka hal-hal lain perlu ditemukan sebagai penyebab kesulitan siswa. Hal-hal lain yang dimaksud dapat meliputi faktor fisik, emosional, kultural, atau lingkungan. Apabila hal-hal tersebut merupakan penyebab kesulitan siswa, maka siswa diarahkan untuk berkonsultasi dengan konselor psikologis atau pihak lain yang berkaitan dengan penyebab tersebut.
  1. Proses pemecahan kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah dalam proses pemecahan kesulitan belajar yaitu memperkirakan kemungkinan bantuan, kemudian menetapkan kemungkinan cara mengatasi, selanjutnya melakukan tindak lanjut. Dalam hal ini tindak lanjut adalah kegiatan melakukan pengajaran remedial (remedial teaching) yang paling cepat dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar

C.    Assesmen Dan Identifikasi Kesulitan Belajar
Identifikasi dalam hal ini merupakan proses untuk menemuk dan mengenali individu agar diperoleh informasi tentang jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami. Untuk mengantisipasi kekeliruan dalam klasifikasi dan agar dapat diberikan layanan pendidikan pada anak berkesulitan belajar. Melalui identifikasi akan diperoleh informasi tentang klasifikasi kesulitan belajar yang dialami anak. Dari klasifikasi tersebut dapat disusun perencanaan program dan tindakan pembelajaran yang sesuai.
Harwell (2000) mengungkapkan bahwa sebaiknya assesmen dan identifikasi siswa berkesulitan belajar dilakukan oleh team yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu, yaitu :
1.      Psikolog sekolah: memperoleh informasi tentang kondisi keluarga, sosial, dan budaya, mengukur inteligensi dan perilaku melalui alat ukur yang terstandar, dan memperoleh gambaran tentang kelebihan dan kekurangan siswa.
2.      Guru kelas dan orang tua: memberi informasi tentang perkembangan anak, keterampilan yang telah diperoleh anak, motivasinya, rentang perhatiannya, penerimaan sosial, dan penyesuaian emosional, yang dapat diperoleh dengan mengisi rating scale tentang perilaku anak.
3.      Ahli pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus: melakukan penilaian akademik dengan menggunakan berbagai tes individual, mengobservasi siswa dalam situasi belajar dan bermain, melihat hasil pekerjaan siswa, dan mendiskusikan performa siswa denga guru dan orang tua.
4.      Perawat sekolah : memperoleh data perkembangan kesehatan siswa. Perawat bisa meminta siswa untuk menunjukkan aktivitas motorik sederhana, melakukan tes pendengaran dan penglihatan siswa, dan jika ada masalah kesehatan, perawat bisa mendiskusikannya ke dokter.
5.      Administrator sekolah: memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait dan menyediakan dana. Dan terkadang juga melibatkan pihak lain seperti guru olahraga, terapis wicara, terapis okupasi, pekerja sosial, atau dokter anak.

D.    Penangan Kesulitan Belajar
Penangan yang diberikan pada kasus anak dengan kesulitan belajar tergantung pda hasil pemeriksaan yang komprehensif dari tim kerja. Penanganan yang diberikan pada anak dengan kesulitan belajar meliputi :
1.      Penanganan dibidang Medis
a.       Terapi Obat
Pengobatan yang diberikan adalah sesuai dengan gangguan fisik atau psikiatrik yang diderita oleh anak, misalnya:
ü  Berbagai kondisi depresi dapat diberikan dengan obat golongan antidepresan
ü  GPPH diberikan obat golongan psikostimulansia, misalnya Ritalin, dll
b.      Terapi Perilaku
Terapi perilaku yang sering diberikan adalah modifikasi perilaku. Dalam hal ini anak akan mendapatkan penghargaan langsung jika dia dapat memenuhi suatu tugas atau tanggung jawab atau perilaku positif tertentu. Di lain pihak, ia akan mendapatkan peringatan jika ia memperlihatkan perilaku negative. Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung ini maka diharapkan anak dapat mengontrol perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di sekolah maupun di rumah.
c.       Psikoterapi Suportif
Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk memberi pengertian dan pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga dapat menimbulkan motivasi yang konsisten dalam usaha untuk memerangi kesulitan ini.
d.      Pendekatan Psikososial Lainnya
ü  Psikoedukasi orang tua dan guru
ü  Pelatihan keterampilan sosial bagi anak
2.      Penanganan di bidang Pendidikan
Dalam hal ini terapi yang paling efektif adalah terapi remedial, yaitu bimbingan langsung oleh guru yang terlatih dalam mengatasi kesulitan belajar anak. Guru remedial ini akan menyusun suatu metode pengajaran yang sesuai bagi setiap anak. Mereka juga melatih anak untuk dapat belajar, baik dengan teknik-teknik pembelajaran tertentu (sesuai dengan jenis kesulitan belajar yang dihadapi anak) yang sangat bermanfaat bagi anak dengan kesulitan belajarnya.

E.     Simpulan
Kesulitan belajar matematika menimbulkan kondisi belajar yang tidak semestinya (tidak seperti yang diharapkan) pada siswa. Hal ini dipengaruhi oleh faktor yang tidak tunggal. Tiga jenis kesulitan belajar yang biasa terjadi pada siswa ketika belajar matematika yaitu kesulitan dalam mempelajari konsep, kesulitan dalam menerapkan prinsip, dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah verbal. Maka guru diharapkan mampu mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami siswa agar dapat menentukan bagaimana metode serta penanganan terhadap masalah yang ada.


Daftar Pustaka
Abdurahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Ade K. & Rizky Oktora, P.E.P. (2013). Kesulitan Belajar Matematika Siswa Ditinjau Dari Segi Kemampuan Koneksi Matematika. Makalah Dipresentasikan Dalam Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika Dengan Tema ”Penguatan Peran Matematika Dan Pendidikan Matematika Untuk Indonesia Yang Lebih Baik" Pada Tanggal 9 November 2013 Di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. ISBN : 978 – 979 – 16353 – 9 – 4
Cooney, T. J., Davis, E. V., & Henderson, K. B. (1975). Dynamics Of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton Miffin.
Dalyono (2010). Psikologi Pendidikan. Semarang: PT. Rineka Cipta.
Harwell, Joan M. (2000). Information & Materials For Ld. New York: The Center Of Applied Research In Education.
Mulyadi (2008). Diagnosis Kesulitan Belajar Dan Bimbingan Terhadap Kesulitan Belajar Khusus. Malang : Nuha Litera.
Sugiharto (2003). Diagnosis Kesulitan Siswa SMU Dalam Menyelesaikan Soal–Soal Matematika. Tesis, PPS UNY

Teori Belajar Van hiele



Teori Belajar Van hiele
     Piere Van Hiele adalah seorang pengajar matematika di Belanda yang telah mengadakan penelitian melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Bersama dengan istrinya, Van Hiele memperlihatkan kesulitan yang dialami siswa mereka ketika mempelajari geometri. Hasil dari penelitian yang dilakukan Van Hiele  menyimpulkan tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam membantu memahami geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur yang ada dalam pembelajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi.
Tahapan Pemahaman Geometri Teori Van Hiele
Berikut ini tahapan belajar anak dalam belajar Geometri menurut Van Hiele (Zubaidah Amir, hal 93):
1.      Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap pengenalan ini siswa baru mengenal bangun-bangun geometri dapat mengidentifikasi bentuk secara keseluruhan dan menentukan secara lisan sesuai dengan kenampakannya. Siswa mampu membangun, menggambar dan menyalin bentuk serta menyebutkan bentuk geometri dengan nama standar atau bukan nama standar. Seperti persegi, persegi panjang, jajargenjang, trapesium, segitiga, belah ketupat, layang-layang, kubus, balok dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan pada sejumlah bangun-bangun geometri, maka anak akan menunjukkan bentuk persegi. Pada tahap ini, anak belum mengenal sifat-sifat bangun geometri sehingga guru diharapkan untuk tidak memberikan pertanyaan seperti “apakah pada persegi, kedua diagonalnya sama?”, jika guru tetap memberikan pertanyaan tersebut maka siswa akan menerimanya melalui hafalan bukan pengertian.


2.      Tahap Analisis (Analysis)
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami sifat-sifat bangun geometri seperti jika diberikan kubus, maka siswa akan menyatakan jika kubus mempunyai 6 sisi dan 12 rusuk. Pada tahap ini siswa belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3.      Tahap Pengurutan (Abstraction)
Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait dengan antara suatu bangun geometri yang satu dengan yang lainnya. Siswa pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri dan dapat mengikuti langkah pembuktian tetapi belum dapat melakukannya sendiri. Misalnya siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok.  Tahap ini anak sudah mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Pada tahap ini siswa belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
4.      Tahap Deduksi (Deduction)
Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif karena seperti pengambilan kesimpulan dan membuktikan teorema-teorema dilakukan dengan cara deduktif. Pada tahap ini siswa sudah mampu memahami secara deduksi yang artinya siswa mampu mengambil keputusan secara deduktif atau penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Siswa pada tahap ini dapat menggunakan teorema, aksioma dan definisi dalam pembuktian geometri. Sebagai contoh pembuktian deduktif untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang 360 secara deduktif dibuktikan menggunakan prinsip kesejajaran. Sedangkan pada pembuktian induktif siswa harus memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360 belum tuntas dan belum tentu tepat. Pembuktian induksi kurang tepat untuk sebuah pengukuran sehingga pembuktian deduktif lebih tepat digunakan. Pada tahap ini siswa telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Siswa pada tahap ini belum bisa menjawab “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil?”.
5.      Tahap keakuratan (Rigor)
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perkembangan kognitif siswa dalam memahami geometri. Tahap ini siswa sudah memahami betapa pentingnya  ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Siswa pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Siswa dapat menafsirkan dan menerapkan teorema dan definisi geometri Euclidean dalam non geometri Euclidean. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Tahap kemampuan pemahaman geometri siswa diatas disusun secara berurutan dan hirarkhi, menurut Van Hiele siswa harusnya mengembangkan pemahamannya sebelum ketingkat atau tahapan selanjutnya. Agar siswa anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Tahapan Van Hiele diatas di teliti kembali oleh Olkun dan Ucar (2006) berdasarkan tahapan perkembangan kognitif siswa Piaget. Hasilnya menyatakan bahwa siswa kelas 1, 2, 3, berada pada tahap visualisasi, siswa kelas 4, 5, 6 berada pada tahap analisis, siswa kelas 7, 8, 9 berada pada tahap pengurutan dan siswa kelas 10, 11, 12 berada pada tahap deduksi pada tahap perkembangan kognitif geometrinya.

Tahapan Pembelajaran Geometri Menurut Van Hiele
Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan.
Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru.
Menurut Van Hiele (Tashana D. Howse and Mark E. Howse, 2015), terdapat 5 (lima) fase pembelajaran yang dapat mendorong kemajuan tingkat berfikir geometrik siswa. Fase pembelajaran geometrik Van Hiele tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
No
Tahap
Deskripsi
1
Informasi
Siswa mengembangkan kosakata dan konsep untuk suatu tugas tertentu. Guru menilai interpretasi/penalaran siswa untuk menentukan bagaimana kegiatan dan tugas belajar selanjutnya.
2
Orientasi langsung
Siswa secara aktif terlibat dalam tugas-tugas yang diarahkan guru. Mereka bekerja dengan perkembangan dari tahap sebelumnya untuk memperoleh pemahaman serta koneksi di antara mereka.
3
Penjelasan
Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pemahamannya mereka. Guru memimpin diskusi
4
Orientasi gratis
Siswa diberikan tugas-tugas yang lebih kompleks dan menemukan cara-cara mereka sendiri dalam menyelesaikan setiap tugas.
5
Integrasi
Siswa merangkum, mengulas kembali, dan membuat kesimpulan dari apa yang telah dipelajari.

Lebih lanjut menurut (Zubaidah amir & Risnawati, 2016), berdasarkan teori Van Hiele tersebut menjelaskan untuk meningkatkan tahap berfikir siswa ketahap yang lebih tinggi sebagai berikut.
a.       Fase 1. Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan kegiatan tanya-jawab tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari misalnya adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengetahuan awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
b.      Fase 2: Orientasi Langsung
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat ataupun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.
c.       Fase 3: Penjelasan
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata.
d.      Fase 4: Orientasi Bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.
e.       Fase 5: Integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.
Karakteristik Teori Van Hiele
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang dari tingakat yang rendah menuju ke tingkat yang paling tinggi. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.    Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
b.    Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan baik pada suatu tingkat yang lanjut, siswa harus menguasai sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi materi pelajaran ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan, tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai mencapai pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun. Untuk mencapai pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
c.    Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-sifatnya, tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan sifat-sifat itu.
d.   Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti, dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain.
Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M.  1986 (dalam Nur’aeni: 2008), menyatakan bahwa karakteristik teori Van Hiele adalah sebagai berikut:
1.    Tingkatan tersebut bersifat rangkaian yang berurutan
2.    Tiap tingkatan memiliki symbol dan bahasa tersendiri
3.    Apa yang implisit pada satu tingkatan akan menjadi eksplisit pada tingkatan berikutnya
4.    Bahan yang diajarkan pada siswa diatas tingkatan pemikiran mereka dianggap sebagai reduksi tingkatan
5.    Kemajuan dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya lebih tergantung pada pengalaman pembelajaran; bukan pada kematangan atau usia.
6.    Seseorang melangkah melalui berbagai tahapan dalam melalui satu tingkatan ke tingkatan berikutnya
7.    Pembelajar tidak dapat memiliki pemahaman pada satu tingkatan tanpa melalui tingkatan sebelumnya
8.    Peranan guru dan peranan bahasa dalam konstruksi pengetahuan siswa sebagai sesuatu yang krusial.

Kelebihan Dan Kekurangan Teori Van Hiele
Di dalam sebuah strategi maupun teori tentunya memiliki kelebihan dan kekurangnya, dan dari pemaparan diatas terdapat kelebihan dan kekurangan teori Van Hiele diantaranya adalah:


1.      Kelebihan Teori Van Hiele
Teori Van Hiele ini membantu siswa untuk lebih memahami geometri dengan belajar melalui pengalaman, siswa tidak dituntut untuk mengetahui terlebih dahulu materi geometri yang akan diajarkan sehingga siswa akan menemukan pengetahuannya sendiri melalui proses belajar yang mereka lakukan, selain itu kecepatan pemahaman dari tahap awal ke tahap selanjutnya lebih tergantung pada isi dan metode pembelajaran yang digunakan guru daripada usia dan kematangan berfikir siswa.
2.       Kekurangan Teori Van Hiele
Pengajaran teori Van Hiele ini harus dilakukan secara bertahap karena jika tidak, kemungkinan siswa untuk dapat memahami geometri dengan baik tidak akan tercapai. Hal ini karena dalam tahapan-tahapan teori Van Hiele ini bekerja secara berkesinambungan atau berkaitan antara satu tahapan dengan tahapan selanjutnya.
Teori ini juga menuntut guru untuk kreatif dalam mengemas pengajaran yang dapat menyesuaikan dengan tingkat berpikir siswa, serta guru harus mampu menentukan strategi yang tepat dalam pelaksanaannya.

Daftar Pustaka
Amir, Zubaidah & Risnawati. 2016. Psikologi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Ismail. 1998. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Universitas Terbuka.
Moeharti. 1993. Pelajaran Geometri yang Pernah Hampir Diabaikan. (Makalah disampaikan pada Konperensi Matematika VII di Surabaya, tanggal 7 – 11 Juni 1993). Surabaya: ITS, IKIP Surabaya, dan Universitas Airlangga.
Nur’aeni, Epon. 2010. Pengembangan Kemampuan komunikasi Geometris Siswa Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis Teori Van Hiele.  Jurnal Saung Guru Vol. 1 No.2.
Tashana D. Howse and Mark E. Howse,  2016. “Linking the Van Hiele Theory to Instruction”. Journal National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), Vol. 21, No. 5 (December 2014/January 2015) : p.304-313. URL : http://www.jstor.org/stable/10.5951/ teacchilmath.21.5.0304