Teori Belajar Van hiele
Piere Van Hiele adalah seorang pengajar
matematika di Belanda yang telah mengadakan penelitian melalui observasi dan
tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun
1954. Bersama dengan istrinya, Van Hiele memperlihatkan kesulitan yang dialami
siswa mereka ketika mempelajari geometri. Hasil dari penelitian yang dilakukan
Van Hiele menyimpulkan tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam membantu memahami geometri. Menurut Van Hiele
ada tiga unsur yang ada dalam pembelajaran matematika yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang jika ketiganya ditata secara terpadu maka
akan meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih
tinggi.
Tahapan Pemahaman Geometri Teori Van Hiele
Berikut ini tahapan belajar anak
dalam belajar Geometri menurut Van Hiele (Zubaidah Amir, hal 93):
1. Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap pengenalan ini siswa baru mengenal
bangun-bangun geometri dapat mengidentifikasi bentuk secara keseluruhan dan
menentukan secara lisan sesuai dengan kenampakannya. Siswa mampu membangun,
menggambar dan menyalin bentuk serta menyebutkan bentuk geometri dengan nama
standar atau bukan nama standar. Seperti persegi, persegi panjang,
jajargenjang, trapesium, segitiga, belah ketupat, layang-layang, kubus, balok
dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan pada sejumlah
bangun-bangun geometri, maka anak akan menunjukkan bentuk persegi. Pada tahap
ini, anak belum mengenal sifat-sifat bangun geometri sehingga guru diharapkan untuk
tidak memberikan pertanyaan seperti “apakah pada persegi, kedua diagonalnya
sama?”, jika guru tetap memberikan pertanyaan tersebut maka siswa akan
menerimanya melalui hafalan bukan pengertian.
2. Tahap Analisis (Analysis)
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami
sifat-sifat bangun geometri seperti jika diberikan kubus, maka siswa akan
menyatakan jika kubus mempunyai 6 sisi dan 12 rusuk. Pada tahap ini siswa belum
mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan (Abstraction)
Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan
yang terkait dengan antara suatu bangun geometri yang satu dengan yang lainnya.
Siswa pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri dan dapat
mengikuti langkah pembuktian tetapi belum dapat melakukannya sendiri. Misalnya
siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah
layang-layang, kubus itu adalah balok.
Tahap ini anak sudah mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara
deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Pada
tahap ini siswa belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa
kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi
saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi (Deduction)
Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif karena
seperti pengambilan kesimpulan dan membuktikan teorema-teorema dilakukan dengan
cara deduktif. Pada tahap ini siswa sudah mampu memahami secara deduksi yang
artinya siswa mampu mengambil keputusan secara deduktif atau penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Siswa pada tahap ini dapat
menggunakan teorema, aksioma dan definisi dalam pembuktian geometri. Sebagai
contoh pembuktian deduktif untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam
jajargenjang 360 secara deduktif dibuktikan menggunakan prinsip kesejajaran.
Sedangkan pada pembuktian induktif siswa harus memotong-motong sudut-sudut
benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk
sudut satu putaran penuh atau 360 belum tuntas dan belum tentu tepat.
Pembuktian induksi kurang tepat untuk sebuah pengukuran sehingga pembuktian
deduktif lebih tepat digunakan. Pada tahap ini siswa telah mengerti pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Siswa pada tahap ini belum
bisa menjawab “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil?”.
5. Tahap keakuratan (Rigor)
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perkembangan
kognitif siswa dalam memahami geometri. Tahap ini siswa sudah memahami betapa
pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Siswa pada tahap ini
sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Siswa dapat
menafsirkan dan menerapkan teorema dan definisi geometri Euclidean dalam non
geometri Euclidean. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami
geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit.
Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap
berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.
Tahap kemampuan pemahaman geometri siswa diatas
disusun secara berurutan dan hirarkhi, menurut Van Hiele siswa harusnya
mengembangkan pemahamannya sebelum ketingkat atau tahapan selanjutnya. Agar
siswa anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf
berpikirnya. Dengan demikian anak dapat memperkaya pengalaman dan berpikirnya,
selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap
yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Tahapan Van Hiele diatas di teliti kembali oleh
Olkun dan Ucar (2006) berdasarkan tahapan perkembangan kognitif siswa Piaget.
Hasilnya menyatakan bahwa siswa kelas 1, 2, 3, berada pada tahap visualisasi,
siswa kelas 4, 5, 6 berada pada tahap analisis, siswa kelas 7, 8, 9 berada pada
tahap pengurutan dan siswa kelas 10, 11, 12 berada pada tahap deduksi pada
tahap perkembangan kognitif geometrinya.
Tahapan
Pembelajaran Geometri Menurut Van Hiele
Model Van
Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut Van Hiele
(dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya
tergantung sedikit pada
kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada
akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk
memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan.
Walaupun
demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar
mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung
menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula,
anak-anak sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang
lebih tinggi. Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa
bantuan guru.
Menurut
Van Hiele (Tashana D. Howse and Mark E. Howse, 2015), terdapat 5 (lima) fase
pembelajaran yang dapat mendorong kemajuan tingkat berfikir geometrik siswa.
Fase pembelajaran geometrik Van Hiele tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut.
No
|
Tahap
|
Deskripsi
|
1
|
Informasi
|
Siswa mengembangkan kosakata
dan konsep untuk suatu tugas tertentu. Guru menilai interpretasi/penalaran siswa
untuk menentukan bagaimana kegiatan dan tugas belajar selanjutnya.
|
2
|
Orientasi langsung
|
Siswa secara aktif terlibat
dalam tugas-tugas yang diarahkan guru. Mereka bekerja dengan perkembangan
dari tahap sebelumnya untuk memperoleh pemahaman serta koneksi di antara
mereka.
|
3
|
Penjelasan
|
Siswa diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pemahamannya mereka. Guru memimpin diskusi
|
4
|
Orientasi gratis
|
Siswa diberikan tugas-tugas
yang lebih kompleks dan menemukan cara-cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
setiap tugas.
|
5
|
Integrasi
|
Siswa merangkum, mengulas
kembali, dan membuat kesimpulan dari apa yang telah dipelajari.
|
Lebih lanjut menurut
(Zubaidah amir & Risnawati, 2016), berdasarkan teori Van Hiele tersebut
menjelaskan untuk meningkatkan tahap berfikir siswa ketahap yang lebih tinggi
sebagai berikut.
a. Fase 1. Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan kegiatan
tanya-jawab tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa.
Dalam hal ini objek yang dipelajari misalnya adalah sifat komponen dan hubungan
antar komponen bangun-bangun segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada
siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru
mempelajari pengetahuan awal yang dimiliki siswa tentang topik yang dibahas.
(2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam rangka menentukan pembelajaran
selanjutnya yang akan diambil.
b. Fase 2: Orientasi Langsung
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang
dengan cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur
menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan
hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat ataupun bahan dirancang
menjadi tugas pendek sehingga dapat mendatangkan respon khusus.
c. Fase 3: Penjelasan
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan
yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal
mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir
mulai tampak nyata.
d. Fase 4: Orientasi Bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas
yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan
tugas yang open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara
mereka sendiri, maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di
antara para siswa dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi
jelas.
e. Fase 5: Integrasi
Siswa
meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu
siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global
terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini
tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai
tahap berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada
tahap sebelumnya.
Karakteristik
Teori Van Hiele
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993)
tingkat-tingkat pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang dari
tingakat yang rendah menuju ke tingkat yang paling tinggi. Teori ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
a.
Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada
loncatan-loncatan dalam kurva belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat
pemikiran yang diskrit dan berbeda secara kualitatif.
b.
Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat
berperan dengan baik pada suatu tingkat yang lanjut, siswa harus menguasai
sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu
ke tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada
umur atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi materi pelajaran
ke tingkat yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan,
tetapi seorang siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan
berhasil mencapai mencapai pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting
dari tingkat manapun. Untuk mencapai pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu
dari fase-fase pembelajaran.
c.
Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat
menjadi dipahami secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat
muncul secara ekstrinsik dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya.
Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-sifatnya,
tetapi seseorang yang berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu
akan sifat-sifat itu.
d.
Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol
linguistiknya sendiri dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan
simbol-simbol itu. Suatu relasi yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan
tidak benar pada tingkat yang lain. Misalnya pemikiran tentang persegi dan
persegi panjang. Dua orang yang berpikir pada tingkat yang berlainan tidak
dapat saling mengerti, dan yang satu tidak dapat mengikuti yang lain.
Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986 (dalam Nur’aeni: 2008), menyatakan bahwa
karakteristik teori Van Hiele adalah sebagai berikut:
1. Tingkatan tersebut bersifat
rangkaian yang berurutan
2. Tiap tingkatan memiliki symbol
dan bahasa tersendiri
3. Apa yang implisit pada satu tingkatan
akan menjadi eksplisit pada tingkatan berikutnya
4. Bahan yang diajarkan pada siswa
diatas tingkatan pemikiran mereka dianggap sebagai reduksi tingkatan
5. Kemajuan dari satu tingkatan ke
tingkatan berikutnya lebih tergantung pada pengalaman pembelajaran; bukan pada
kematangan atau usia.
6. Seseorang melangkah melalui
berbagai tahapan dalam melalui satu tingkatan ke tingkatan berikutnya
7. Pembelajar tidak dapat memiliki
pemahaman pada satu tingkatan tanpa melalui tingkatan sebelumnya
8. Peranan guru dan peranan bahasa
dalam konstruksi pengetahuan siswa sebagai sesuatu yang krusial.
Kelebihan
Dan Kekurangan Teori Van Hiele
Di
dalam sebuah strategi maupun teori tentunya memiliki kelebihan dan kekurangnya,
dan dari pemaparan diatas terdapat kelebihan dan kekurangan teori Van Hiele diantaranya
adalah:
1.
Kelebihan
Teori Van Hiele
Teori Van Hiele ini membantu siswa untuk
lebih memahami geometri dengan belajar melalui pengalaman, siswa tidak dituntut
untuk mengetahui terlebih dahulu materi geometri yang akan diajarkan sehingga
siswa akan menemukan pengetahuannya sendiri melalui proses belajar yang mereka
lakukan, selain itu kecepatan pemahaman dari tahap awal ke tahap selanjutnya
lebih tergantung pada isi dan metode pembelajaran yang digunakan guru daripada
usia dan kematangan berfikir siswa.
2.
Kekurangan Teori Van Hiele
Pengajaran teori Van Hiele ini harus
dilakukan secara bertahap karena jika tidak, kemungkinan siswa untuk dapat
memahami geometri dengan baik tidak akan tercapai. Hal ini karena dalam
tahapan-tahapan teori Van Hiele ini bekerja secara berkesinambungan atau
berkaitan antara satu tahapan dengan tahapan selanjutnya.
Teori ini juga menuntut guru untuk kreatif dalam
mengemas pengajaran yang dapat menyesuaikan dengan tingkat berpikir siswa,
serta guru harus mampu menentukan strategi yang tepat dalam pelaksanaannya.
Daftar Pustaka
Amir, Zubaidah &
Risnawati. 2016. Psikologi Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Ismail. 1998. Kapita Selekta
Pembelajaran Matematika. Universitas Terbuka.
Moeharti. 1993. Pelajaran
Geometri yang Pernah Hampir Diabaikan. (Makalah disampaikan pada Konperensi
Matematika VII di Surabaya, tanggal 7 – 11 Juni 1993). Surabaya: ITS, IKIP
Surabaya, dan Universitas Airlangga.
Nur’aeni, Epon. 2010. Pengembangan Kemampuan komunikasi Geometris
Siswa Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis Teori Van Hiele. Jurnal Saung Guru Vol. 1 No.2.
Tashana D. Howse and Mark E. Howse, 2016. “Linking
the Van Hiele Theory to Instruction”. Journal National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), Vol. 21, No. 5
(December 2014/January 2015) : p.304-313. URL : http://www.jstor.org/stable/10.5951/
teacchilmath.21.5.0304
Tidak ada komentar:
Posting Komentar