Jumat, 17 Maret 2017

PANDANGAN ABSOLUTISME TERHADAP MATEMATIKA



FILSAFAT ILMU

PANDANGAN ABSOLUTISME TERHADAP MATEMATIKA




DISUSUN OLEH:
1.   Wahyu Berti Rahmantiwi       (16709251045)
2.   Annisa Hasanah                      (16709251051)
3.   Saepul Watan                          (16709251057)



UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
2016





THE ABSOLUTIST VIEW OF MATHEMATICAL KNOWLEDGE


A.    Filsafat Matematika
Filsafat matematika adalah cabang ilmu filsafat yang bertujuan untuk menjelaskan sifat dan hakekat dari matematika. Misalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Apa yang menjadi dasar pengetahuan matematika? Bagaimana sifat kebenaran matematika? Apa karakteristik kebenaran matematika? Apakah pembenaran untuk pernyataan-pernyataan yang ada? Mengapa kebenaran matematika adalah suatu kebenaran yang penting?
Sebelum menanyakan hakikat dari ilmu matematika, pertama-tama perlu kita mengetahui hakikat ilmu pengetahuan pada umumnya, sehingga pada akhirnya matematika memilki peran khusus di dalamnya. Dimana, pengetahuan adalah kepercayaan yang dibenarkan. Lebih tepatnya, bahwa pengetahuan proposisional terdiri dari proposisi yang diterima (dipercaya), asalkan ada dasar yang memadai untuk menegaskannya. (Sheffler,1965; Chisholm,1966; Woozley,1949)
Pengetahuan diklasifikasikan berdasarkan pada pernyataan tersebut. Pengetahuan apriori terdiri dari proposisi hanya berdasarkan alasan saja, tanpa pengamatan dari dunia. Alasannya terdiri dari penggunaan logika deduktif dan makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau pengetahuan posteriori terdiri dari proposisi yang menjelaskan berdasarkan pengalaman, yaitu, dengan pengamatan dunia (Woozley, 1949).
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan apriori, karena terdiri dari proposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Alasannya, termasuk logika deduktif dan yang digunakan sebagai definisi, hubungannya dengan aksioma matematika atau postulat, adalah sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika.
Misalnya dalam membuktikan pernyataan  1 + 1 = 2dalam Sistem Aksiomatik Aritmatika Peano. Untuk bukti ini kita membutuhkan definisi dan aksioma s0 = 1, s1 = 2, x + 0 = x, x + sy = s (x + y) dari Aritmatika Peano, dan aturan inferensi logis dari P (r), r= t P (t); P (v) P (c) (di mana r, t, v, c, dan P (t) kisaran lebih dari istilah; variabel, konstanta, dan dalil dalam istilah t, masing-masing, dan ' menandakan implikasi logis). Berikut ini adalah bukti 1 + 1 = 2: x + sy = s (x + y), 1 + sy = s (1 + y), 1 + s0 = s(1+0), x+0 = x, 1 +0 = 1, 1 + s0 = s1, s0 = 1, 1 +1 = s1, s1 = 2, 1 +1 = 2.
Penjelasan tentang bukti ini adalah sebagai berikut. s0 = 1 [D1] dan s1 = 2 [D2] adalah definisi dari konstanta 1, dan 2 masing-masing, dalam Aritmatika Peano, x +0 = x [A1] dan x + sy = s (x + y) [A2] adalah aksioma Aritmatika Peano. P (r), r = t P (t) [R1] dan P (v) P (c) [R2]. Simbol-simbol diatas adalah aturan-aturan logika penarikan kesimpulan. Kebenaran dari pembuktian tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.
Langkah
Pernyataan
Pembenaran dari pernyataan
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
L8
L9
L10
x + sy = s ( x + y )
1 +  sy = s ( 1 + y)
1 + s0  = s ( 1 + 0)
x + 0  = s
1 + 0   = 1
1 + s0  = 1
s0 = 1
1 + 1 = s1
s1 = 2
1 + 1 = 2
A2
R2 diterapkan pada S1, menggunakan v = x, c = 1
R2 diterapkan pada S2, menggunakan v = y, c = 0
A1
R2 diterapkan pada S4, menggunakan v = x, c = 1
R1 diterapkan S3 dan S5, menggunakan r = 1 + 0, t =1
D1
R1 diterapkan S6 dan S7, menggunakan r = s0, t = 1
D2
R1 diterapkan S8 dan S9, menggunakan r = s1, t = 2

Bukti dari pernyataan “1 + 1 = 2 ini memperlihatkan kebenaran pengetahuan matematika sesuai analisis sebelumnya, dengan bukti deduktif menetapkan jaminan logis untuk menegaskan pernyataan tersebut.
Pengetahuan matematika pada dasarnya telah diterima seperti dalam Euclid di atas, pengetahuan matematika dibentuk oleh deduksi logis dari teorema dari aksioma dan dalil-dalil (yang termasuk aksioma). Logika yang mendasari tidak ditentukan (selain pernyataan dari beberapa aksioma tentang hubungan kesetaraan). Aksioma yang tidak dianggap sebagai asumsi sementara untuk diadopsi, yang digunakan hanya untuk membangun teori berdasarkan pertimbangan. Aksioma yang menjadi dasar kebenaran tidak diperlukan adanya pembenaran (Blanche, 1966). Karena itu, bukti logis mempertahankan kebenaran yang diasumsikan aksioma adalah kebenaran yang jelas, maka setiap teorema yang berasal darinya juga harus kebenaran (alasan ini secara implisit, tidak eksplisit dalam Euclid). Namun, klaim ini tidak lagi diterima karena aksioma Euclid dan postulat tidak dianggap sebagai dasar dan tak terbantahkan kebenaran, tidak satu pun yang dapat menegasikan atau menolak tanpa menyebabkan kontradiksi. Bahkan, penolakan beberapa dari mereka, terutama Postulat Paralel, hanya mengarah ke tubuh lain pengetahuan geometrik (geometri non-euclidean).
Pengetahuan matematika modern mencakup banyak cabang yang bergantung pada asumsi aksioma-aksioma yang tidak dapat diklaim sebagai dasar kebenaran universal, misalnya, aksioma teori group atau teori himpunan (Maddy, 1984).


B.     Pandangan Absolutis Pengetahuan Matematika
Pandangan absolutis dalam pengetahuan matematika adalah bahwa hal itu terdiri dari kebenaran tertentu dan unchallengeable (tidak dapat ditantang). Menurut pandangan ini, pengetahuan matematika adalah kebenaran mutlak.
Banyak filsuf yang memiliki pandangan absolut dari pengetahuan matematika. Misalnya seperti Hempel yang menyatakan validitas matematika berasal dari ketentuan yang menentukan makna dari konsep-konsep matematika, dan proposisi matematika pada dasarnya adalah benar dengan definisi (FeigI dan Sellars, 1949, halaman 225).
Pendukung lain tentang kepastian matematika adalah Jayer, yang menyatakan “Kebenaran logika dan matematika adalah proposisi analitik atau tautologies (pernyataan/berlebih-lebihan)”. Kepastian suatu pernyataan apriori tergantung pada kenyataan bahwa pernyataan tersebut termasuk tautologi. Sebuah proposisi adalah tautologi jika analitik. Proposisi adalah analitik jika kebenarannya mengutamakan makna kekonsistenan, dan dengan demikian tidak dapat dikonfirmasi atau ditolak baik oleh fakta pengalaman (Ayer, 1946, halaman 72, 77 dan 16).
Pandangan absolutis terhadap pengetahuan matematika didasarkan pada dua jenis asumsi yaitu para pakar matematika mengenai asumsi aksioma dan definisi, dan para pakar logika tentang asumsi aksioma, aturan inferensi, bahasa formal dan sintaksnya. Namun semua ini adalah suatu pendapat yang masih lokal atau masih termasuk mikro-asumsi, sehingga membutuhkan makro asumsi untuk mendirikan semua kebenaran matematis.
Pandangan absolutis pengetahuan matematika mengalami masalah pada awal abad kedua puluh ketika sejumlah antinomies (pernyataan kontroversi) dan kontradiksi (pertentangan) diturunkan dalam matematika (Kline,1980; Kneebone,1963; Wilder,1965). Dalam serangkaian publikasi Gottiob Frege (1879, 1893) yang didirikan sangat ketat dalam perumusan logika matematika yang dikenal waktu itu sebagai dasar untuk pengetahuan matematika.
Dalam publikasinya Frege menetapkan suatu Set  harus dibentuk melalui perluasan konsep apapun, konsep/properti itu harus diterapkan pada suatu set. Dimana konsep/properti (unsur/elemen itu sendiri). Frege memungkinkan perluasan properti ini dianggap sebagai suatu set. Tapi kemudian set ini merupakan elemen dari dirinya sendiri, jika dan hanya jika itu tidak kontradiksi. (Furth, 1964)

Namun, Russell (1902) mampu menunjukkan bahwa sistem Frege itu tidak konsisten karena dapat menghasilkan paradoks yang sangat terkenal yang menyatakan “Konsep/properti itu bukan dari unsurnya sendiri)”
Kontradiksi lainnya juga muncul dalam teori himpunan dan teori fungsi. Temuan semacam itu tentu saja berimplikasi buruk terhadap pandangan absolut dari pengetahuan matematika. Karena jika matematika itu pasti, dan semua teorema menghasilkan yang pasti, bagaimana bisa kontradiksi (yaitu kepalsuan) harus ada diantara teoremanya?. Karena tidak ada kesalahan tentang munculnya kontradiksi-kontradiksi ini, maka sesuatu harus salah dalam dasar-dasar matematika. Hasil dari krisis ini adalah pengembangan dari sejumlah sekolah dalam filsafat matematika yang bertujuan untuk menjelaskan sifat dari pengetahuan matematika dan untuk mendirikan kembali kepastiannya. Ada tiga kelompok (aliran) filsafat matematika pada waktu itu yaitu logicisme, formalisme dan konstruktivisme (menggabungkan intuisionisme).
1.      Logicisme
Logicsme adalah sekolah pemikiran yang menganggap matematika murni sebagai bagian dari logika. Pendukung utama  dari pandangan ini adalah G.Leibniz, G.frege (1893),   B.Russel (1919), A.N Whitehead dan R. Carnap (1931). Di tangan Bertrand Russel klaim logika menerima formulasi yang paling jelas dan eksplisit. Ada dua klaim aliran logicism yaitu :
a.       Semua konsep matematika pada akhirnya dapat direduksi menjadi konsep logis, asalkan untuk memasukkan konsep set atau sistem kekuasaan yang mirip seperti Teori Russel.
b.      Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma dan aturan inferensi logika.
Jika semua matematika dapat dinyatakan dalam istilah murni logis dan terbukti dari prinsip-prinsip logis saja,  kepastian pengetahuan matematika dapat tereduksi menjadi logika tersebut. Maka logika dianggap memberikan landasan tertentu untuk kebenaran matematika. Selain terlalu ambisius, upaya untuk memperpanjang logika seperti hukum Frege melalui program logistis akan memberikan dasar logis untuk pengetahuan matematika, mendirikan kembali kepastian yang mutlak dalam matematika.
Whitehead dan Russel (1910-1913) mampu membangun klaim pertama melalui rantai definisi. Namun aliran ini kandas pada klaim kedua. Kenyataanya matematika membutuhkan aksioma non-logis seperti aksioma tak terhingga (seperti himpunan semua bilangan asli adalah tidak terbatas) dan aksioma pilihan (produk Cartesian dari himpunan tidak kosong).
Tapi meskipun semua pernyataan logis dapat dinyatakan dalam bentuk konstanta logis bersama-sama dengan variabel dan sebaliknya, semua pernyataan dapat menyatakan cara ini adalah logis. Aksioma ketidakterbatasan sebagai contoh dari proposisi yang meskipun dapat diucapkan dalam hal logis tetapi tidak dapat menegaskan dengan logis untuk menjadi kenyataan (Russel, 1919, halaman 202-3).
Teorema Matematika tergantung pada sebuah kesatuan asumsi matematika yang tereduksi.  Memang, sejumlah aksioma teorema matematika tergantung pada kumpulan asumsi dan negasi tanpa inkonsistensi (Cohen, 1966), sehingga klaim kedua yang logistis disangkal.

2.      Formalisme
Aliran formalisme dalam matematika dicetuskan David Hilbert (1862-1943), pada tahun 1925, diteruskan oleh J. Von Neumann tahun 1931 dan H. Curry tahun 1951. Aliran ini sering disebut aliran postulatsional atau aliran aksiomatik dan dalam pendidikan matematika melahirkan jenis matematika yang disebut matematika modern (New Math) seperti yang sekarang diberikan di sekolah-sekolah.
Formalisme dibentuk dengan tujuan khusus menyingkirkan semua kontradiksi dalam matematika, antara lain mengatasi paradok dalam teori himpunan (Paradok Russel/Paradok Tukang Cukur) dan untuk menyelesaikan tantangan matematika klasik yang disebabkan oleh kritik kaum Intuisionis.
Dengan kata lain aliran formalisme bertujuan untuk menterjemahkan seluruh matematika ke dalam sistem formal yang tidak dapat diinterpretasikan (kosong dari arti). Aliran formalisme menganjurkan pendekatan murni abstrak, berangkat dari prinsip awal, dan mendeduksi segalanya dari prinsip awal tersebut. Karya-karya yang dihasilkannnya sama sekali tidak mempunyai (dan memang tidak perlu mempunyai) hubungan dengan ilmu pengetahuan dan dunia nyata, sesuatu yang sangat membanggakan aliran ini.
Menurut aliran formalisme, matematika sekedar rekayasa simbol berdasarkan aturan tertentu untuk menghasilkan sebuah sistem pernyataan tautologis, yang memiliki konsistensi internal, tetapi kosong dari makna. Matematika direduksi hanya menjadi sebuah permainan intelektual, seperti catur. Dalam bahasa populer, formalisme memandang matematika sebagai permainan formal penuh makna yang dimainkan dengan lambang-lambang di atas kertas menggunakan aturan tertentu.
Ada dua tesis dalam aliran formalis, yaitu;
(1)   Matematika murni dapat ditafsirkan sebagai sistem formal, dimana kemudian kebenaran matematika diwakili oleh dalil formal.
(2)   keamanan sistem formal dapat ditunjukkan dalam hal kebebasan dari inkonsistensi (ketidakserasian) melalui meta-matematika.
Secara ringkas, tesis kaum Formalis adalah membangun matematika yang berpusat pada penggunaan sistem lambang formal. Programnya adalah membangun konsistensi seluruh matematika dengan menggunakan teori bukti. Tesisnya bahwa matematika harus dikonstruksi kembali atas dasar kaidah konsistensi dengan lambang-lambang formal, menemukan hasilnya dalam karya Hilbert, Grundlagen der Mathematik.
Kaum formalis memandang matematika sebagai koleksi perkembangan abstrak, dimana term-term matematika semata-mata hanyalah lambang-lambang dan pernyataan adalah rumus-rumus yang melibatkan lambang-lambang tersebut.
Dasar untuk aritmatika tidak terletak pada logika tetapi pada koleksi tanda-tanda pralogis atau lambang-lambang dalam seperangkat operasi dengan tanda-tanda ini.
Oleh karena itu, menurut aliran Formalisme, matematika kosong dari muatan konkrit dan hanya memuat elemen-elemen lambang ideal, sehingga membangun kekonsistenan dari berbagai cabang matematika menjadi sangat penting. Tanpa disertai bukti kekonsistenan, seluruh penyelidikan matematika tidak berarti sama sekali.
Teorema ketidak lengkapan Kurt Godel (Godel, 1931) menunjukkan bahwa program tidak dapat terpenuhi. Teorema yang pertama menunjukkan bahwa bahkan tidak semua kebenaran aritmatika dapat diturunkan dari Aksioma Peano (atau yang lebih besar aksioma rekursif). Hasil ini bukti-teori telah dilakukan sejak dicontohkan dalam matematika oleh Paris dan Harrington, yang versi Teorema Ramsey benar, tetapi tidak dapat dibuktikan di Peano aritmatika (Barwise, 1977). Teorema ketidaklengkapan kedua menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus yang diinginkan memerlukan bukti konsistensi meta-matematika lebih kuat daripada sistem yang akan dilindungi, yang dengan demikian tidak ada perlindungan sama sekali.
Misalnya, untuk membuktikan konsistensi Peano Aritmatika mengharuskan semua aksioma dari sistem dan asumsi lebih lanjut, seperti prinsip induksi transfuuite atas ordinals dpt dihitung (Gentzen, 1936).
Program formalis itu sudah berhasil memberikan dukungan untuk pandangan absolutis kebenaran matematika. Sebagai bukti formal, yang berbasis di sistem matematika formal yang konsisten, akan memberikan batu ujian untuk kebenaran matematika. Namun, dapat dilihat baik bahwa klaim formalisme telah membantah. Tidak semua kebenaran matematika dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal, dan lebih jauh lagi, sistem itu sendiri tidak dapat dijamin aman.

3.      Kontruktivisme
Para konstruktivis berdiri dalam filsafat matematika dapat ditelusuri kembali setidaknya oleh Kant dan Kronecker (Korner, 1960). Salah satu program para konstruktivis adalah merekonstruksi pengetahuan matematika dalam rangka untuk menjaga dari kehilangan makna dan kontradiksi. Untuk tujuan ini, konstruktivis menolak argumen non-konstruktif seperti bukti Cantor bahwa bilangan real tak terhitung, dan sifat logika dari Law of the Excluded Middle.
Para konstruktivis terpopuler adalah intuitionists LEJ Brouwer (1913) dan Heyting A. (1931, 1956). Baru-baru ini ahli matematika E. Bishop (1967) telah melakukan konstruktivis dengan merekonstruksi sebagian besar Analisis. Berbagai bentuk konstruktivisme masih berkembang saat ini, seperti dalam karya filosofis intuisionis M. Dummett (1973, 1977). Konstruktivisme meliputi berbagai seluruh pandangan yang berbeda, mulai dari ultra-intuitionists (A. Yessenin-Volpin).
Ahli matematika ini beranggapan bahwa pandangan matematika klasik mungkin tidak aman, untuk itu perlu dibangun kembali dengan mengkonstruktif metode dan penalaran. Konstruktivis menyatakan bahwa kebenaran matematika dan keberadaan objek matematika harus dibentuk dengan metode konstruktif. Ini berarti bahwa tujuan konstruksi matematika adalah untuk mendirikan kebenaran atau keberadaan objek matematika, sebagai lawan untuk metode yang bergantung pada pembuktian dengan kontradiksi.
Bagi konstruktivis pengetahuan harus ditetapkan melalui pembuktian konstruktif, berdasarkan logika konstruktivis terbatas, dan makna dari istilah matematika / objek terdiri dari prosedur formal dengan mana mereka dibangun.
Meskipun beberapa konstruktivis berpendapat bahwa matematika adalah studi tentang proses konstruktif yang dilakukan dengan pensil dan kertas, pandangan yang lebih ketat dari intuitionists, dipimpin oleh Brouwer, adalah matematika terjadi terutama dalam pikiran, dan matematika tertulis adalah sekunder. Satu konsekuensi dari hal ini, Brouwer menganggap semua axiomatizations dari logika intuitionistic adalah tidak lengkap. Refleksi selalu dapat menemukan secara intuitif lebih lanjut tentang kebenaran aksioma dalam intuitionistic logika, sehingga tidak pernah dapat dianggap sebagai berada dalam bentuk akhir.
Dua klaim dari intuisionisme yaitu tesis positif dan tesis negatif.
(1)      Tesis positif adalah efek bahwa cara intuitionistic dari mengkonstruksi gagasan matematis dan operasi logis adalah satu koheren dan sah bahwa matematika intuitionistic membentuk tubuh dipahami dari teori.
(2)      Tesis negatif adalah efek bahwa cara klasik construing gagasan matematis dan operasi logis yang koheren dan tidak sah, bahwa matematika klasik, sementara yang mengandung, dalam bentuk terdistorsi (memutar balikan fakta), banyak nilai.
Di daerah-daerah terbatas di mana terdapat baik klasik dan konstruktivis bukti hasilnya, yang terakhir sering lebih baik sebagai lebih informatif. Sedangkan bukti keberadaan klasik hanya mungkin menunjukkan perlunya logis dari keberadaan, bukti keberadaan konstruktif menunjukkan bagaimana untuk membangun objek matematika yang eksistensinya ditegaskan. Hal ini meminjamkan kekuatan pada tesis positif, buih titik pandang matematika. tentunya, tesis negatif jauh lebih bermasalah, karena tidak hanya gagal ke account untuk tubuh besar matematika klasik non-konstruktif, tetapi juga menyangkal validitasnya.
Para konstruktivis tidak menunjukkan bahwa ada masalah tak terelakkan menghadapi matematika klasik atau bahwa hal itu tidak koheren dan tidak valid. Memang klasik matematika baik murni dan diterapkan telah semakin kuat sejak program konstruktivis diajukan. Oleh karena itu, tesisnegatif dari intuisionisme ditolak.
Masalah lain untuk tampilan konstruktivis, adalah bahwa beberapa hasil yang tidak konsisten dengan matematika klasik. Jadi, misalnya, kontinum bilangan real, sebagaimana didefinisikan oleh intuitionists, adalah dpt dihitung. Hal ini bertentangan dengan hasil klasik bukan karena ada kontradiksi yang melekat, tapi karena definisi bilangan real berbeda. Konstruktivisme gagasan sering memiliki makna yang berbeda dari konsep-konsep klasik terkait.
Dari perspektif epistemologis, baik tesis positif dan negatif dari intuisionisme adalah cacat. Klaim para intuisi untuk memberikan landasan tertentu dalam versi mereka kebenaran matematis dengan menurunkan itu (mental) dari intuitif aksioma tertentu, menggunakan metode yang aman secara intuitif. Pandangan ini pengetahuan dasar matematika secara eksklusif pada keyakinan subjektif. Tapi kebenaran mutlak (yang intuitionists klaim untuk menyediakan) tidak dapat didasarkan pada keyakinan subjektif saja. Juga tidak ada jaminan bahwa intuisi intuitionists berbeda 'kebenaran dasar ini akan bertepatan.
Jadi tesis positif dari intuisionisme tidak memberikan dasar tertentu bahkan untuk bagian dari pengetahuan matematika. Kritik secara luas menjadi bentuk lain dari aliran konstruktif yang juga mengklaim kebenaran dasar matematika konstruktif atas dasar kejelasan asumsi sebagai landasan konstruktivis.
Tesis negatif dari aliran intuisi, (dan aliran kontruktif ketika memeluk), menyebabkan penolakan dasar pengetahuan matematika diterima, dengan alasan bahwa hal itu tidak dapat dimengerti. Tapi matematika klasik dapat dipahami. Ini berbeda dari matematika konstruktif yang sebagian besar menggunakan asumsi sebagai dasarnya. Jadi konstruktivisme punya kesalahan yang analog dengan jenis kesalahan tipe I dalam statistik, yaitu penolakan terhadap pengetahuan yang valid.

C.    Kekeliruan pada Absolutisme.
Kita telah melihat bahwa sejumlah filosofi matematika absolutisme telah gagal untuk membangun arti pentingnya pengetahuan matematika. Masing-masing dari ketiga faham pikiran logisme, formalisme, dan intuisiisme (bentuk konstruktivisme) mencoba untuk memberikan suatu  fondasi yang kuat untuk kebenaran matematika, dengan mengambilnya dengan bukti matematika dari suatu realita kebenaran walaupun terbatas. Untuk tiap-tiap kasus ada dasar yang akan menjadi kebenaran absolut. Bagi para ahli logika, formalisme dan intuisme, hal ini terdiri dari aksioma logis, prinsip-prinsip meta-matematika dan aksioma primordial intuisi, secara berurutan. Masing-masing dari aksioma-aksioma atau prinsip-prinsip ini diasumsikan tanpa demonstrasi atau dibuktikan. Oleh karena itu masing-masing tetap terbuka untuk bagi tantangan, dan dengan demikian dapat diragukan. Akibatnya masing-masing paham memakai logika deduktif untuk menyatakan kebenaran dari teorema matematika dari dasar asumsi mereka. Konsekwensinya ketiga paham pikiran ini gagal untuk membangun kepastian yang absolut dari kebenaran matematika. Karena logika deduktif hanya meneruskan kebenaran dan kesimpulan dari suatu bukti logis serpasti dari pemis paling lemah.
Tiga usaha dari paham pikiran ini juga gagal untuk menyediakan suatu fondasi untuk rangakaian penuh dari apa yang nantinya dinamakan kebenaran matematika . Bukti tidak cukup untuk mengungkap seluruh kebenaran. Dengan demikian ada kebenaran pengetahuan matematika yang tidak tertangkap dari paham-paham pikiran ini.
Fakta bahwa ketiga paham pikiran tersebut telah gagal membangun kepastian dari pengetahuan matematika tidak mnenyudahi isu secara umum. Masih mungkin ada alasan-alasan lain untuk menentukan kepastian dari kebenaran matematika. Kebenaran absolut dalam matematika masih tetap menjadi suatu kemungkinan. Namun kemungkinan ini ditolak oleh argumen umum untuk menolak memberikan status kepastian kepada kebenaran matematika. Ini semua menyerupai argumen umum yang digunakan diatas untuk mengkritik ketiga paham fikiran tersebut, karena mereka semua tergantung pada sistem deduktif.
Lakatos (1962)  menunjukkan bahwa  pencarian kepastian dalam matematika membawa kepada suatu lingkaran yang tak berujung pangkal. Sistem matematika apapun tergantung pada seperangkat asumsi, dan mencoba untuk membangun kepastian dengan membuktikan, membawa kepada suatu regresi infinitif. Tidak ada cara laian untuk menghilangkan asumsi-asumsi tersebut. Tanpa bukti, asumsi-asumsi tetap merupakan kepercayaan yang  dapat salah, dan bukanlah pengetahuan yang pasti. Apa yang dapat dilakukan adalah untuk meminimalisir untuk mendapatakan seperangkat aksioma ayang dikurangi/diturunkan, yang kita harus terima tanpa bukti-bukti, dengan demikian merusak lingkaran setan yang harus dibayar dengan kepastian yang hilang atau kita dapat gantikan. Penggantian membawa kita pada lingkaran setan yang lebih jauh. Seperangkat aksioma hanya dapat dilepaskan dengan menggantinya dengan asumsi paling tidak dengan kekuatan yang sama. Dengan demikian kita tidak dapat membangun kepastian matematika tanpa membuat asumsi-asumsi dengan cara demikian, gagal untuk menjadi kepastian absolut.
Harus dipahami bahwa argumen ini ditujukan secara keseluruhan kepada pengetahuan matematika, dan tidak ditujukan pada sistem atau bahasa formal yang bersifat tunggal. Banyak cara untuk memberikan suatu fondasi bagi matematika dalam suatu bahasa seperti itu berhasil untuk mengurangi asumsi-asumsi dalam bahasa atau sistem formal. Apa yang telah dilakukan dalam kasus tersebut  adalah untuk menekan beberapa atau semua asumsi dasar ke dalam meta-bahasa, seperti strategi eksplisit formalisme. Kapanpun hal itu terjadi, dan dan dimanapun, ada sebuah kernel dari asumsi yang memperkenalkan kebenaran kedalam sistem, dan yang deduksi mentransfer kepada seluruh teorema dari sistem (dengan syarat sistemnya ama, yaitu konsisten).
Kebenaran matematika tergantung pada suatu seperangkat asumsi yang iadopsi tanpa demonstrasi. Tetapi sebagai kualitas pengetahuam murni, asumsi tersebut memerlukan pembenaran untuk  pernyataan-pernyataan mereka. Tidak ada pembenaran yang valid bagi pengetahuan matematika dari pada demonstrasi atau bukti-bukti. Oleh karena itu asumsi itu berupa keepercayaan,bukan pengetahuan, dan tetap terbuka untuk ditantang, dan maka diragukan.
Hal ini merupakan argumen pusat dalam melawan kemungkinan dari pengetahuan yang pasti dalam matematika. Hal ini juga secara langsung menimbulkan kontradiksi klaim-klaim absolut dari pemikiran fondamental. Dibawah paham pemikiran, dianggap menjadi suatu reputasi absolutisme yang tak terjawab oleh sejumlah penulis.
Pandangan pokok kebenaran absolut harus di buang. Fakta-fakta tentang cabang apapun dari matematika murni harus diingat sebagai asumsi-asumsi (dalil-dalil atau aksioma-aksioma, atau definisi atau teorema-teorema. Yang paling banyak dapat diklaim adalah bahwa jika dalil-dalil adalah benar dan definisi diterima, dan jika metode-metode penalaran adalah berbunyi, kemudian teorema adalah benar. Dengan kata lain kita sampai pada konsep tentang kebenaran relatif (kebenaran teorema dalam hubungannya dengan dalil-dalil, definisi-definisi, dan penalaran logika) untuk menggantikan inti pandangan kebenaran absolut.
                                                                        (Stabler. 1955, halaman 24)
Apa yang kita sebut matematika murni adalah suatu sistem deduktif-hypothetico. Aksioma-aksiomanya berperan sebagai hipotesis atau asumsi-asumsi, yang dianggap sebagai proposisi yang mereka berikan.
                                                                        (Cohen dan Nagel, 1955, halaman 24)
Kita hanya dapat mendiskripsikan aritmetika, menemukan rumus-rumusnya, tidak memberikan basis bagi mereka. Basis seperti itu tidak akan memuaskan kita, karena alasan bahwa aritmetika harus sewaktu-waktu berakhir dan kemudian mengacu kepada sesuatu yang tidak lagi dapat dibentuk. Hanya konvensi saja yang terkhir. Apapun nampaknya seperti suatu pondasi dipalsukan dan pasti tidak memuaskan kita.
                                                                                    (Waismann,1951, halaman 122)
Pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi atau teori-teori mungkin diformulasikan dalam pernyataan yang tegas yang mungkin benar dan kebenaran mereka berkuran, dengan cara  derivasi/mencari asal mula dari proposisi primitif. Usaha  untuk membangun (dari pada mengurangi) dengan alat-alat ini terhadap kebenaran mereka membawa kepada suatu regres infinitif.
                                                            (Popper, 1979, disarikan dari tabel halaman 124)
Kritik diatas bersifat tegas bagi pandangan matematika. Namun demikian, mungkin juga untuk menerima kritik tanpa mengadopsi filosofi matematika fallibilist. Karena dimungkinkan untuk menerima hipotetiko deduktif yang menolak pembenaran dan kemungkinan kesalahan mendalam dalam matematika., walaupun dari dasar yang diasumsikan dalam matematika. Bentuk yang diperlemah ini dari posisi absolut menyerupai dengan “jika-maka” oleh Russel dalam strateginya dalam mengadopsi aksioma-aksioma tanpa bukti. Namun demikian posisi absolutis yang diperlemah berdasarkan pada asumsi-asumsi yang tetap dibiarkan terbuka untuk fallibilist.

D.    Kesimpulan
Absolutisme adalah suatu pandangan tentang kebenaran matematika yang meyskini bahwa matematika adalah suatu kebenaran yang mutlak. Namun dari pandangan ini, muncul beberapa kontradiksi dari para tokoh filsafat matematika tentang kepastian dari kebenaran matematika. Dengan munculnya kontradiksi-kontradiksi ini dibentuklah sekolah-sekolah atau kelompok-kelompok aliran filsafat matematika yang bertujuan untuk membangun kembali kepastian dari ilmu matematika dainataranya adalah aliran logisisme, formalisme dan kontuktivisme (intuisionisme).
Alhasil, ketiga aliran filsafat matematika diatas belum bisa mempertahankan kepastian dari ilmu matematika, sehingga membuka peluang untuk kritik falibilist. Penolakan terhadap absolutisme tidak harus dilihat sebagai pembuangan matematika dari dunia kepastian dan kebenaran. Hilangnya kepastian tidak berarti hilangnya pengetahuan. Demikian dalam matematika, relativitas dan ketidakkepastian merupakan suatu kemajuan dalam pengetahuan, bukan berarti mundur dari kepastian masa lalu.

E.     Referensi
Ernest, Paul. 1991. The Phylosophy of Mathematics Education. The Palmer Press: Francis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar